Jejaring Sosial dan Kekuatan Rakyat
Oleh Heru Sutadi
Hingga kini lebih dari setengah juta pengguna jejaring sosial Facebook
bergabung dalam ”Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah
& Bibit Samad Rianto”.
Dukungan itu sebagai respons atas penahanan dua unsur pimpinan
(nonaktif) KPK terkait kasus yang dinyatakan kepolisian sebagai
”penyalahgunaan wewenang”.
Gerakan yang melibatkan pengguna Facebook—facebookers—ini merupakan kali
kedua setelah beberapa waktu lalu bergerak cepat dalam mendukung Prita
Mulyasari, ibu rumah tangga yang ditahan karena berseteru dengan rumah
sakit. Prita ditahan karena mengirim e-mail keluhan ke beberapa teman.
Peran internet
Julianne Schultz dalam Universal Suffrage? Technology and Democracy
mengatakan, kemampuan adaptif teknologi memiliki kapasitas untuk
memengaruhi kemampuan masyarakat berfungsi di sebuah masyarakat
demokrasi. Itu sebabnya teknologi berpotensi memengaruhi hakikat
demokrasi itu sendiri.
Dengan hadirnya internet, misalnya melalui mailing list, topik diskusi
atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan meluas.
Informasi dari politik, teknik, hingga erotik hadir di sini. Wilayah
publik menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman,
sudut jalan, yang diistilahkan Jurgen Habermas sebagai ruang publik.
Dalam melihat emansipasi politik, penggunaan kata ”publik”, ”berbicara”,
dan pertemuan ”tatap muka” cukup membingungkan dan kompleks. Selain hal
itu hanya berupa ”kedipan elektronik”, juga karena piksel-piksel itu
dikirim individu dari lokasi-lokasi berbeda, jauh, dan mungkin belum
pernah bertemu. Namun, ruang publik, apalagi dengan Web 2.0, juga bisa
diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor.
Di Indonesia, setelah lebih dari tiga dekade rezim Soeharto menikmati
kontrol yang hampir mutlak atas ruang media, komunikasi dan informasi,
internet menjadi alat penting mengakhiri era ini. Pelengseran rezim Orde
Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi sedikit banyak juga
dipengaruhi gelombang informasi lewat internet.
Peran internet sebagai media alternatif saat media dalam negeri dihantui
ketakutan pascapemberedelan Tempo, Editor, dan DeTIK cukup signifikan.
Beberapa situs, Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo
Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi politik yang
kontroversial dan kritis saat itu. Situs-situs itu lebih cepat menebar
berita daripada media massa lain.
Jejaring sosial
Dalam setahun terakhir ini, peran jejaring sosial amat terasa. Banyak
orang yang sudah lama tak bertemu dipertemukan melalui jejaring sosial
seperti Facebook. Pertemuan yang semula bersifat online berlanjut ke
”kopi darat”. Beragam reuni digelar, dari teman kuliah hingga kawan
sekolah. Di sini terlihat, pertemanan yang bersifat online bisa menjadi
offline bilamana ada keterkaitan yang mengikat dalam pertemanan offline,
misalnya teman sekolah, kawan di kampus, komunitas tertentu, maupun
rekan kerja. Bentuk pertemanan tanpa latar belakang seperti itu tidak
dapat dikategorikan pertemanan yang nyata.
Ketika banyak seruan melalui jejaring sosial mengenakan pita hitam
sebagai ”kelanjutan” dukungan terhadap KPK, diakui atau tidak, seruan
tidak banyak dilakukan. Sebab, bentuk persetujuan dukungan lewat
jejaring sosial amat mudah. Terima notifikasi, lalu tinggal klik apakah
kita setuju atau tidak gerakan itu. Berbeda dengan realitas. Pita harus
dicari bahkan dibeli, untuk demo bersama tentu juga butuh dana, sehingga
akhirnya hanya sebatas dukungan online saja.
Namun, bukan berarti jejaring sosial dapat diabaikan. Jika ada pihak
yang pandai menggerakkan komunitas yang online menjadi offline, apalagi
dengan mengusung isu satu ”musuh bersama”, bukan tidak mungkin jejaring
sosial dapat menjadi kendaraan meraih simpati publik, yang meluas memicu
kekuatan rakyat.
Karena itu, sebelum itu terjadi, galangan opini maupun isu yang
mengemuka melalui jejaring sosial tetap perlu menjadi perhatian.
Setidaknya, kalau tak menggerakkan rakyat ke jalan, demokrasi melalui
”kedipan layar elektronik” tetap lebih berbiaya murah dan potensi
kerusakan yang dihasilkan tak semenakutkan jika ratusan ribu orang
berkumpul untuk berdemo. Itu bisa dikatakan, kedewasaan demokrasi
sebenarnya, berpendapat tanpa harus dengan kekerasan.
Heru Sutadi Mahasiswa S-3 UI